Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd
RIAK pandemi Covid 19 (Sars-Cov-2) belum usai, masih menghantui setiap penghuni bumi yang kini korbanya mencapai angka 2.418.845. Angka ini merupakan update per pukul 17.00 WIB, 20 April 2020 sementara di Indonesia, jumlah kasus positif baru: 185 pasien Total jumlah kasus positif: 6.760 pasien, total jumlah pasien dirawat: 5.423 orang, total jumlah pasien sembuh: 747 orang, total jumlah pasien meninggal: 590 jiwa, total jumlah PDP: 16.343 orang, total jumlah ODP: 181.770 orang. Angka-angka ini terus bertambah, dan bisa saja akan semakin cepat proses penambahannya jika PSBB tidak berjalan secara optimal.
Perasaan ini muncul ketika dihadapkan dengan perlengkapan yang tidak memadai, dan tidak menjamin keselematan mereka sebagai perawat, mereka adalah ibu dari anak-anak mereka, isteri dari para suami yang tengah berjuang atas nama profesi dan kemanusiaan. Namun dalam kondisi demikian, ia selalu berharap bahwa hal yang terburu dari kejadian ini sama sekali tak pernah diharapkan, “Kami merawat semua orang ini dengan virus yang pada dasarnya membuat mereka ditelantarkan, dan mati sendirian adalah hal yang sangat buruk, saya tidak berharap itu terjadi pada siapa pun.”
Demikian juga cerita perawat di Indonesia, curhatan mereka bertebaran di dunia maya, untuk menggugah kesadaran kita sebagai masyarakat, mereka tengah berjuang digarda depan penanggulangan pandemi ini. Kisah Wita Tamala, perawat pasien Covid-19 di ruang isolasi Pinere Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur. Balutan jubah hazmat (hazardous materials) lengkap dengan sarung tangan, masker, kacamata medis, dan penutup kaki cukup memberi ketenangan bagi perempuan yang sudah tiga tahun bekerja sebagai perawat itu saat berinteraksi dengan pasien.
Lain halnya dengan Nisa, ia menuturkan di balik baju hazmat terdapat banyak energi yang dikeluarkan lebih untuk pasien. Apalagi rasa khawatir akan risiko tertular virus Corona dari pasien yang sedang dirawat. Belum lagi saat pulang ke rumah atau ke masyarakat dan teman-teman juga. Kami juga mengalami stigma negatif atau kita was-was dengan keluarga juga kalau terlalu berinteraksi (Takut tertular).
Ada cerita lain, pengalaman Ibu Hawari misalnya, ketika kebijakan Work From Home (WFH) dan Learning at Home (LaH) diterapkan, banyak cerita terungkap. Perempuan kuat tersebut (dan juga perempuan-perempuan lainnya) memerankan diri dengan tanggung jawab lahiriah dan batiniah, Aktivitas belajar dari rumah yang kemungkinan akan berlanjut hingga pergantian semester atau tahun ajaran baru mendatang, telah menjadikan ibu di Indonesia berperan ganda, mengasuh sekaligus sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Jika ditinjau dari sudut ekonomi, maka tentunya juga berdampak pada pengeluaran rumah tangga, sebab harus mengeluarkan alokasi khusus untuk kelancaran proses pembelajaran anak-anak.
Selain itu, mereka juga harus mengatur dan mempersiapkan kebutuhan lahirian lainnya yang ditujukan agar dapat memberikan semangat dan energi kepada suami dan anak yang bekerja dan belajar dari rumah, dengan menyiapkan masakan favorit keluarga dengan penuh cinta. Berbagai menu makanan bergizi untuk menjaga daya tahan tubuh keluarga di tengah pandemi yang berlangsung saat ini.
Tidak cukup itu saja, masih berkaitan dengan sitausi ini, mereka juga tetap harus menyempatkan diri untuk memastikan rumah tetap bersih dan nyaman demi bekerja dan belajar dari rumah yang maksimal. Apalagi di tengah musim pandemi seperti sekarang ini, bukan hanya kebersihan diri yang harus dijaga dengan rutin mencuci tangan saja. Rumah juga harus tetap bersih agar tidak menjadi sarang kuman yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan keluarga. Sebahagian cerita mereka tersebut adalah cerminan dari ‘KARTINI PADA MASA PANDEMI’.
Mengkaji kembali Kartini ini sesungguhnya merupakan salah satu cara untuk mengingat kembali, bahwa perjuangan para perempuan dalam setiap dinamika sosial kehidupan tidak bisa diabaikan begitu saja, terlebih pada masa pandemi ini, ibarat sebuah medan pertempuran mereka memiliki peran ganda yang masing-masingnya mempunyai tanggung jawab yang berat. Peran mereka semakin signifikan dan dapat bermitra sejajar dengan kaum laki-laki, yang menjadi kunci pembangunan inklusif sekaligus menunjukkan kepekaan kita terhadap kesetaraan gender.
21 April 2020 hari ini, biasanya dirayakan dengan berbagai kegiatan seremoni, yang dihiasi dengan pakaian-pakaian kebaya/tradisional agaknya tidak lagi terlihat. Pandemi ini memaksa semua orang untuk merasakan perjuangan untuk melawannya, termasuk perempuan yang secara statistik cukup dominan di bidang penanganannya, apakah ia dokter, perawat, laboran dan bahkan cleaning servisnya. Menurut data dari United Nation Population Fund (UNPFA) mengungkapkan dalam penanganan covid-19 secara global ini sebanyak 70% didominasi tenaga kesehatan berjenis kelamin perempuan.
Demikian juga dalam bidang ekonomi, dalam data yang diungkap oleh Michael Tertils dari Universitas Mannheim di Jerman menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak terdampak akibat pandemi global ini. Dalam konteks Indonesia, BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Tenaga Kerja mengungkapkan per 13 April 2020 sebanyak 2,8 juta pekerja yang terdampak. Rinciannya sebanyak 1,7 juta pekerja formal dirumahkan, kemudian 749,4 ribu pekerja formal di-PHK, 282 ribu pekerja informal usahanya terganggu, serta 100 ribu pekerja migran dipulangkan ke Tanah Air.
Meskipun belum ada data pasti berapa jumlah perempuan dari total pekerja yang dirumahkan ini, namun akibat dari peristiwa ini, pada prakteknya posisi perempuan sangat rentan berkenaan dengan pengaturan keuangan keluarga. Karenanya, perempuan juga dituntut agar mampu mengelola cashflow agar bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga selama masa darurat.
Semangat dan daya juang yang dimiliki perempuan-perempuan tangguh ini bukan saja dalam upaya mempertahankan keluarganya di wilayah domestik tetapi juga membangun kesadaran terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan juga fenomena ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Tidak berlebihan kiranya kalau kaum perempuan Indonesia yang berjumlah lebih dari separuh penduduk ini diakui sebagai kekuatan bangsa dan negara dengan potensinya yang luar biasa.
Perjuangan saat ini berbeda dari sebelumnya dimana andil dan peran perempuan diharapkan mampu menciptakan suasana rumah yang nyaman, tenang, dan membangkitkan optimisme bagi seluruh anggota keluarganya. Perempuan saat ini ditantang untuk dapat menjalankan fungsi domestik dan publiknya sekaligus hanya dari rumah.
Melihat kenyataan tersebut, maka tidaklah berlebihan jika penulis menyatakan bahwa mereka para perempuan yang berprofesi sebagai perawat, pekerja, Ibu Rumah Tangga dan perempuan-perempuan lainnya adalah cerminan KARTINI PADA MASA PANDEMI. Mudah-mudahan bermanfaat.
*Penulis adalah ASN Pemerintah Kota Bengkulu dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara