RDNews, Kaur – Polemik dugaan pelanggaran mutasi terhadap pejabat eselon II baru baru ini yang terjadi di Kabupaten Kaur saat ini sedang bergulir.
Mutasi yang dilakukan tersebut tertuang dalam petikan keputusan Bupati Kaur, Gusril Pausi nomor : 188.4.45-693 Tahun 2020.
Namun, saat dikonfirmasi Anggota Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar terkait hal tersebut percaya bahwa bawahannya di Kabupten Kaur itu bisa menyelesaikan apa yang sudah menjadi tanggung jawab.
“Berbagai aturan sudah kami lakukan pembinaan juga sudah kami lakukan dan kami percaya bahwa bawaslu kaur dapat menyelesaikan apa yang sudah menjadi tanggung jawab mereka,” ucapnya saat dikonfirmasi, Selasa (29/9).
Kemudian lanjut Anggota Bawaslu RI yang ke Provinsi Bengkulu dalam rangka untuk melakukan fungsi pengawasan dalam kesiapan pesta demokrasi Pilkada 2020 mendatang mengungkapkan hal tersebut bukan hanya tanggung jawab Bawaslu Kaur namun juga Bawaslu Provinsi Dan RI.
“Itu adalah tugas dan kewenangan kita bersama, bukan hanya bawaslu kaur tapi juga Bawaslu Provinsi dan RI,” pungkasnya
Sekadar mereview, Bupati Kabupaten Kaur Gusril Pausi diduga melanggar Pasal 71 Ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 atau biasa disebut UU Pilkada. Karena melakukan penggantian pejabat, sedangkan UU tersebut sudah mengatur bahwa calon petahana dilarang melakukan itu, kecuali mendapat izin dari Mendagri. Jika terbukti, maka Gusril bisa didiskualifikasi dari pencalonannya di Pilkada Kaur 2020.
Akan tetapi, Nandar membantah bahwa Gusril melakukan mutasi, tapi penjatuhan sanksi terhadap pejabat dimaksud lantaran melakukan tindakan indisipliner.
Pejabat yang dimaksud adalah Jon Harimol yang sebelumnya menjabat Kadis Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga, ia diberhentikan dan dipindahkan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagai Analis Jabatan. Untuk mengisi kekosongan posisi Jon, Gusril sudah menunjuk Asisten Perekonomian dan Pembangunan By Wiadi sebagai Pelaksana tugas.
Berdasarkan bunyi di SE yang ditandatangani Mendagri M. Tito Karnavian itu, ada aturan menganai diperbolehkannya pergantian jabatan apabila terjadi kekosongan jabatan, misalnya akibat meninggal dunia.
Sedangkan dalam Pasal 71 UU 10/2016 hanya disebutkan pergantian jabatan bisa dilakukan dengan persetujuan resmi dari Kemendagri.
Pun jika ada yang melanggar UU tersebut, maka akan dikenakan sanski administrasi dan pidana. Adapun sanksi adsministrasi jika gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota atau wakil walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Sedangkan sanksi pidana pada pasal 188 berbunyi: setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 (UU 10/2016), dipidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan, dan/atau denda Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6.000.000. [ypb]